ETIKA DAN KODE ETIK PROFESI HUKUM
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum
Dosen Pengampu :
Udiyo Basuki, S.H., M.Hum.
Disusun oleh:
Novia Alfia Istiqomah
16340021
16340021
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Banyak dari
aspek-aspek terpenting dari tatanan masyarakat untuk sebagian besar bergantung
pada berfungsinya profesi-profesi dengan baik. kegiatan pengembangan dan
penerapan ilmu dilaksanakan dalam suatu konteks profesional. Dalam tatanan
masyarakat modern, terjalin erat hasil dari berfungsinya profesi-profesi.
Profesi-profesi dalam sistem sosial okupasi (pekerjaan) menempati kedudukan
yang sangat strategis (talcoot persons dalam “essays in sociological theory”,
1964).
Terhadap
profesi-profesi tadi dapat terjadi kemerosotan dalam kegiatan pengembangannya
sebagai akibat dilanggarnya etika dan kode etik profesi serta mengapa profesi
memerlukan etika dan kode etik, akan menghasilkan jawaban yang bergantung pada
pengertian kata profesi.
B.
Pembahasan
1. Pengertian profesi ?
2. Pengertian etika ?
3. Etika profesi, kode etik dan landasan ?
4. Profesi hukum ?
5. Fungsi kode etik profesi hukum ?
6. Pentingnya kode etik profesi hukum ?
7. Contoh studi kasus
C.
Tujuan
1. Mengetahui apa itu profesi
2. Mengetahui pengertian etika
3. Mengetahui etika dan kode etik dalam
profesi hukum
4. Mengetahui tujuan adanya etika dan kode
etik profesi hukum
5. Mengetahui apa saja yang termasuk dalam
profesi hukum
BAB II
PEMBAHASAN
1. Apa itu Profesi
Dalam kamus besar bahasa indonesia
dijelaskan pengertian profesi, adalah bidang pekerjaan yang dilandasi
pendidikan keahlian. (keterampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu.[1]
Sejalan dengan pengertian profesi diatas,
habeyb menyatakan bahwa, profesi adalah pekerjaan dengan keahlian khusus
sebagai mata pencarian.[2]
Sementara itu menurut komaruddi, profesi
ialah suatu jenis pekerjaan yang karena sifatnya menurut pengetahuan yang
tinggi, khusus dan latihan yang istimewa.[3]
Kata profesi dan profesional sesungguhnya
memiliki beberapa arti. Profesi dalam percakapan sehari-hari dapat diartikan
sebagai pekerjaan (tetap) untuk memperoleh nafkah (belanda: baab, inggris: job
atau occupation), baik legal maupun tidak. Profesi diartikan sebagai setiap
pekerjaan untuk memperoleh uang. Dalam artian lebih teknis, profesi diartikan
sebagai setiap kegiatan tertentu untuk memperoleh nafkah yang dilaksanakan
secara berkeahlian yang berkaitan dengan cara berkarya dan hasil karya yang
bermutu tinggi, dengan imbalan bayaran yang tinggi. Keahlian diperoleh lewat
proses pengalaman, dengan belajar di lembaga pendidikan tertentu, latihan
intensif, atau paduan dari ketiga nya. Ditinjau dari pengertian ini, sering
dibedakan pengertian profesional dan profesionalisme sebagai lawan dari amatir
dan amatirisme, juga sering dikatakan pekerjaan tetap sebagai lawan dari
pekerjaan sambilan. [4]
Roscoe pound, seorang filsuf hukum tokoh
aliran sociological jurisprudence yang terkenal dengan gagasannya tentang hukum
sebagai “ a tool for social engineering “ pandangannya dalam pengertian profesi
pada dasarnya sejalan dengan persons menurut persons “ profesional bukanlah
kapitalis, pekerja (buruh), administrator pemerintah, birokrat, ataupun petani
pemilik tanah. Batas lingkup profesi sebagai institut tidak jelas dan tegas
dalam kenyataannya terdapat kelompok-kelompok marginal yang status
keprofesionalannya ekuivokal. Namun demikian
kriteria inti untuk mengkualifikasikan suatu okupasi sebagai suatu
profesi sudah cukup jelas, yakni bahwa profesi mensyaratkan pendidikan teknik
yang formal, dilengkapi dengan cara pengujian yang terinstitusionalisasikan
adekuasi pendidikannya dan kompetensi orang-orang hasil didikannya pengujian
para calon pengemban profesi sangat mengutamakan evaluasi rasionalitas kognitif
yang diterapkan pada bidang khusus tertentu karenanya sangat menekankan unsur
intelektual.
Dapat diambil kesimpulan pengertian
profesi adalah pekerjaan tetap berupa pelayanan (service occupation)
pelaksanaannya dijalankan dengan menerapkan pengetahuan ilmiah dalam bidang
tertentu, dihayati sebagai suatu panggilan hidup, serta terikat pada etika
khusus (etika profesi) yang bersumber pada semangat pengabdian terhadap sesama
manusia. Dari pengertian ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa profesi adalah
suatu fungsi kemasyarakatan tertentu yang perwujudannya mensyaratkan disiplin
ilmu tertentu. Ada lima sistem okupasi yang dapat dikualifikasi sebagai profesi
dalam pengertian ini yakni: keimanan (ulama), kedokteran, hukum jurnalistik dan
pendidikan, kelimanya berkaitan langsung dengan martabat manusiawi dalam
keutuhannya, berupa relasi dengan yang transenden, kepastian hukum yang
berkeadilan, informasi yang relevan, dan solidaritas yang dinamis kreatif. [5]
2. Pengertian Etika
WJS. Poerwadarminta dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia mengemukakan bahwa pengertian etika adalah : ilmu pengetahuan
tentang asas-asas akhlak (moral). (WJS. Poerwadarminta, 1986 : 278)
Menurut Verkuyl, perkataan etika berasal
dari perkataan “ethos” sehingga muncul kata-kata ethika. (Rudholf Pasaribu,
1988 : 2) perkataan ethos dapat diartikan sebagai kesusilaan, perasaan
batin atau kecenderungan hati seseoorang untuk berbuat kebaikan.
Dr. James J.Spillane SJ. Mengungkapkan
bahwa etika atau ethics memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku
manusia dalam pengambilan keputusan moral. Etika mengarahkan atau menghubungkan
penggunaan akal budi individual dengan objektivitas untuk menentukan
“kebenaran” atau “kesalahan” dan tingkah laku seseorang terhadap orang lain. (budi
susanto (ed) dkk, 1992 : 42).
Dalam bahasa “agama islam” istilah etika
ini adlah merupakan bagian dari akhlak. Dikatakan merupakan bagian dari akhlak,
karena akhlak bukanlah sekedar menyangkut perilaku manusia bersifat perbuatan
lahiriah saja, akan tetapi mencangkup hal-hal yang lebih luas, yaitu meliputi
bidang akidah, ibadah dan syari’ah.
Karena itu akhlak islami cakupannya
sangat luas yaitu menyangkut etos, etis, moral dan estetika. Karenanya :
a. Etos, yang mengatur hubungan seseorang
dengan khaliknya, al-ma’bud bi haq serta kelengkapan uluhiyah dan rubbubiyah,
seperti terhadap rasul-rasul allah, kitabnya dan sebagainya.
b. Etis, yang mengatur sikap seseorang
terhadap dirinya dan terhadap sesamanya dalam kegiatan kehidupan
sehari-harinya.
c. Moral, yang mengatur hubungan dengan
sesamanya, tetapi berlainan jenis dan atau yang menyangkut kehormatan tiap
pribadi.
d. Estetika, rasa keindahan yang mendorong
seseorang untuk meningkatkan keadaan dirinya serta lingkingannya, agar lebih
indah dan menuju kesempurnaan. (abdullah salim, 1985:12)
Dari diatas, maka dapatlah dirumuskan
bahwa akhlak ilmu yang membahas perbuatan manusia dan mengajarkan perbuatan
yang harus dihindari dalam hubungan dengan allah swt, manusia dan alam sekitar
dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan nilai moral-moral.
Kalau kita berbicara tentang moral atau
etika seseorang atau sekemlompok orang, maka yang dimaksud adalah bukan hanya
apa yang biasa dilakukan orang atau sekelompok orang itu, melainkan juga apa
yang menjadi pemikiran dan pendirian mereka mengenai apa yang baik dan apa yang
tidak baik, mengenai apa yang patut dan apa yang tidak patut untuk dilakukan.
Perbuatan-perbuatan atau perilaku orang pada umumnya, tidak selalu adalah
tanda, adalah manifestasi keyakinan atau pandangan hidup orang. [6]
3. Etika Profesi, kode
etik dan landasan
Seorang pengemban profesi harus dapat
memutuskan apa yang harus dilakukannya dalam melaksanakan tindakan pengembanan
profesionalnya. Hubungan antara pengemban profesi dan pasien atau kliennya
adalah hubungan personal, hubungan antar subyek pendukung nilai, karena itu
secara pribadi ia bertanggung jawab atas mutu pelayanan jasa yang
dijalankannya.
Secara formal yuridis kedudukan pengemban
profesi dan kliennya adalah sama. Namun secara sosio psikologis dalam hubungan
ini terdapat ketidakseimbangan disebabkan oleh ketidakmampuan pasien atau klien
untuk dapat menilai secara obyektif pelaksanaan kompetensi teknikal pengemban
profesi yang dimintai pelayanan profesionalnya. Jadi hubungan horizontal antara
pengemban profesi dan kliennya sesungguhnya hanyalah merupakan hubungan
kepercayaan. Karenanya dalam menjalankan pelayanan profesional, para pengemban
profesi dituntut untuk menjiwainya dengan sikap etis tertentu. Sikap etis
inilah yang dinamakan etika profesi.
Hubungan antara tuhan dan manusia
merupakan hubungan personal vertikal yang berlandaskan cinta kasih. Hubungan
ini merupakan akar dari hubungan personal horizontal yang bersifat kepercayaan,
sehingga akan memotivasi untuk menghayati profesi sebagai fungsi kemasyarakatan
dan memotovasi untuk mewujudkan etika profesi sebagai sikap hidup dalam
mengemban profesi.
Etika profesi adalah sikap etis sebagai
bagian integral dari sikap hidup dalam menjalani kehidupan sebagai pengemban
profesi. Kepatuhan pada etika profesi tergantung kepada akhlak pengemban
profesi yang bersangkutan karena awam tidak dapat menilai. Karenanya kalangan
pengemban profesi itu sendiri membbutuhkan adanya pedoman obyektif yang lebih
konkret bagi perilaku profesionalnya yang kemudian diwujudkan dalam seperangkat
kaidah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban profesi
yang disebut kode etik profesi (disingkat kode etik) berupa tertulis maupun
tidak tertulis. Pada dasarnya, di satu pihak kode etik termasuk kelompok kaidah
moral positif yang bertujuan untuk menjaga martabat profesi yang bersangkutan,
dan dilain pihak bertujuan untuk melindungi pasien atau klien (warga
masyarakat) dari penyalahgunaan keahlian dan atau otoritas.
4. Profesi hukum
Profesi hukum merupakan salah satu dari
sekian profesi lain, misalnya profesi dokter, profesi akuntan, profesi teknik,
dan lain-lain. Profesi hukum mempunyai ciri tersendiri, karena profesi ini
sangat bersentuhan langsung dengan kepentingan manusia/orang yang lazim disebut
“klien”. Profesi hukum dewasa ini memiliki daya tarik tersendiri, akibat
terjadinya suatu paradigma baru dalam dunia hukum, yang mengarah pada
peningkatan penegakan hukum. Appalagi dewasa ini isu pelanggaran hak asasi
manusia semakin marak diperbincangkan dan telah terjadi wacana publik yang
sangat menarik.
Profesi hukum mempunyai keterkaitan
dengan bidang-bidang hukum yang terdapat dalam negara Kesatuan Republik
Indonesia, misalnya kehakiman, kejaksaan, kepolisian, mahkamah agung, serta mahkamah
konstitusi. [7]
Profesi hukum berkaitan dengan masalah
mewujudkan dan memelihara ketertiban yang berkeadilan didalam kehidupan
bermasyarakat. Penghormatan terhadap martabat manusia merupakan titik tolak
atau landasan bertumpunya atau tujuan akhir darin hukum.
Untuk mewujudkan ketertiban yang
berkeadilan, hukum merupakan sarana yang mewujud berbagai kaidah perilaku
kemasyarakatan yang disebut kaidah hukum. Keseluruhan kaidah hukum positif yang
berlaku dalam suatu masyarakat tersusun dalam suatu sistem yang disebut tata
hukum. Ada dan berfungsinya tata hukum dengan kaidah-kaidah hukumnya serta
penegakannya merupakan produk dari perjuangan manusia dalam upaya mengatasi
masalah-masalah kehidupan. Dalam dinamika kesejahteraan manusia, hukum dan tata
hukumnya tercatat sebagai salah satu faktor yang sangat penting dalam proses
pengadaban dan penghalusan dari budi manusia.
Salah satu fungsi kemasyarakatan agar
kehidupan manusia tetap bermartabat adalah dengan menyelenggarakan dan
menegakkan ketertiban yang berkeadilan dalam kehidupan bersama sebagai suatu kebutuhan dasar manusia. Dalam
kehidupan sehari-hari pada tingkat peradaban yang telah majemuk, fungsi
kemasyarakatan penyelenggaraan dan penegakkan ketertiban yang berkeadilan ini
mewujudkan dalam profesi hakim. H.F..M. Crombag dalam makalahnya yang berjudul
“notities over de juridische opleiding” (1972) yang mengklasifikasikan peran
kemasyarakatan profesi hukum itu kedalam empat bidang karya hukum, yakni: penyelesaian
konflik secara formal (peradilan), pencegahan konflik (legal drafting, legal
advice), penyelesaikan konflik secara informal, dan penerapan hukum diluar
konflik. Jabatan-jabatan seperti hakim, advokad dan notaris termasuk profesi
hukum masa kini yang mewujudkan bidang karya hukum secara khas.
a. Profesi Hakim
Untuk menyelesaikan konflik kepentingan
yang seering terjadi dalam masyarakat dengan baik secara teraturdemi
terpeliharanya ketertiban yang berkedamaian didalam masyarakat, diperlukan adanya
suatu institusi (kelembagaan) khusus yang mampu menyelesaikan masalah secara
tidak memihak (imparsial) dengan berlandaskan patokan-patokan yang berlaku
secara obyektif. Dalam negara modern penyelesaian konflik ini dilakukan melalui
proses formal yang panjang yang dimulai dengan perang tanding yang
“goodsoordeel” (ordeal) lewat penyelesaian oleh pimpinan masyarakat lokal,
dengan kepastian yang berkeadilan. Dari sini terbentuklah institusi peradilan
lengkap dengan aturan-aturan yang prosedural dan jabatan-jabatn yang berkaitan
yaitu hakim, advokadd dan jaksa, dengan wewenang pokok yang disebut kewenangan
(kekuasaan) kehakiman, untuk melakukan tindakan pemeriksaan, penilaian, dan
penetapan nilai perilaku manusia tertentu serta menentukan nilai suatu situasi
kongkret dan menyelesaikan persoalan (konflik) yang ditimbulkannya secara
impersial berdasarkan hukum (patokan obyektif). Dalam kenyataan kongkret
pengambilan keputusan dalam mewujudkan kewenangan
kehakiman dilaksanakan oleh pejabat lengkap lembaga peradilan yang disebut
hakim.
Tugas hakim pada dasarnya adalah memberi
keputusan dalam setiap perkara (konflik) yang dihadapkan kepadanya, menetapkan
hal-hal seperti hubungan hukum nilai hukum daripada perilaku, serta kedudukan
hukum pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara yang dihadapkannya.
Untuk dapat menyelesaikan konfllik secara
imparsial berdasarkan hukum yang berlaku, para hakim harus slalu mandiri dan
bebas dari pengaruh pihak manapun termasuk pemerintah sekalipun dalam mengambil
keputusan. Para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah
hukum yang menjadi atau dijadikan landasan yuridis keputusannya seperti
dikatakan mochtar kusumaatmadja (1974:17) hakim memiliki kekuasaan yang besar
terhadap para pihak (yustisiabel) berkenaan dengan masalah atau konflik-konflik
yang dihadapkan kepadanya.
Berdasarkan uraian tadi dapat kita
simpulkan bahwa sikap etis atau etika profesi hakim harus berintikan: taqwa
kepada tuhan yang maha esa, jujur, adil, bijaksana, imparsial (tidak memihak),
sopan, sabar, memegang teguh rahasia jabatan, dan solidaritas sejati.
Kesemuanya itu harus tercermin dalam perilaku sehari-hari, karna hanya dengan
bersikap etis sedemikian para hakim akan mampu memelihara martabat dan
kewibawaannya
Sekarang ini diindonesia etika profesi
telah dijabarkan kedalam kode kehormatan kehakiman yang ditetapkan oleh Rapat
Kerja pada Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri dibawah pimpinan
Mahkamah Agung pada tahun 1966 yang kemudian diteguhkan dan dimantapkan dalam
musyawarah nasional Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) ke-IX pada tanggal 23 maret
1988.
b. Profesi Advokad
Dalam kenyataannya setiap negara memiliki
sebuah organisasi atau lembaga yang memberikan jasa pelayanan hukum terhadap
oranng atau lembaga yang membutuhkan layanan hukum tersebut. Lembaga tersebut
lazim disebut “advokad” atau pengacara. Diindonesia keberadaan advokad tidak
terlepas dari pengaruh pemerintah belanda yang menjajah indonesia pada waktu
itusehingga pengaturan advokad tetap mengacu pada ketentuan peraturan
pemerintah belanda tersebut.
Pada dasarnya ada dua pokok tugas
advokad, yakni memberi nasehat hukum untuk menjauhkan klien dari konflik dan
mengajukan atau membela kepentingan klien dipengadilan peran utama seorang
advokad pada saat berperkara dipengadilan adalah mengajukan berbagai fakta dan
pertimbangan yang relevan dari sudut pihak kliennya sehingga memungkinkan bagi
hakim untuk menetapkan keputusan yang adil. Profesi advokad pada dasarnya dapat
berperan pada semua bidang karya hukum, sehingga pada dasarnya etika profesi
hakim juga berlaku bagi para advokad.
c. Profesi Notaris
Dalam kehidupan sehari-hari, dirasakan
kebutuhan akan adanya suatu alat bukti, bahkan pada zaman kaisar yustinianus
(romawi) telah dikenal tentang peraturan pembuatan alat bukti. Pada awalnya
alat bukti itu hanyalah berdasarkan kepada “saksi”, namun demikian selalu ada
mengalami perubahan, dengan sendirinya “keyakinannya” dapat mengalami
perubahan.
Namun demikian, ketika itu alat yang
paling wajar hanyalah saksi, yang mana saksi itu adlah orang “yang pada waktu
perbuatan hukum itu berlangsung”, saksi yang bersangkutan ikut hadir, orang itu
dihadapkan untuk memberikan “kesaksian” tentang apa yang mereka dengar dan apa
yang mereka lihat.
Notaris sebagai pejabat umum diangkat
oleh negara, bekerja juga untk kepentingan negara, namun demikian notaris
bukanlah pegawai sebagaimana dimaksud dalaam undang-undang nomor 8 tahun 1974
tentang pokok-pokok kepegawaian, sebab dia tidak menerima gaji, dia hanya
menerima honorarium atau fee dari klien. Dan dapat dikatakan bahwa notaris,
adlah pegawai pemerintah tanpa menerima suatu gaji dari pihak pemerintah,
notaris dipensiunkan oleh pemerintah, akan tetapi tidak menerima pensiun dari
pemerintah.
Karena tugas yang diemban notaris adlah
tugas yang seharusnya merupakan tugas pemerintah, maka hasil pekerjaan notaris
mempunyai akibat hukum, notaris dibebani sebagian kekuasaan negara dan
memberikan pada aktenya kekuatan otentik dan eksekutorial.
Fungsi dan peran notaris dalam gerak
pembangunan nasional yang semakin kompleks dewasa ini tentunya makin luas dan
makin berkembang, sebab kelancaran dan kepastiaan hukum segenap usahayang
dijalankan oleh segenap pihak makin banyak dan luas, dan hal ini tentunya tidak
terlepas dari pelayanan dan produk hukum yang dihasilkan oleh notaris.
Pemerintah (sebagian yang memberikan
sebagian wewenangnya kepad anotaris) dan masyarakat banyak tentunya
mempunyai harapan agar pelayanan jasa yang diberikan oleh notaris benar-benar
memiliki nilai dan bobot yang dapat diandalkan.
Jabatan notaris, selain jadi jabatan yang
menggeluti masalah-masalah teknis hukum, juga turut berpartisipasi aktif dalam
pembangunan hukum nasional, oleh karena itu notaris harus senantiasa slalu
menghayati idealisme perjuangan bangsa secara menyeluruh. Untuk itu (terutama
sekali dalam rangka peningkatan jasa pelayanannya) notaris harus selalu
mengikuti perkembangan hukum nasional, yang pada akhirnya notaris mampu melaksanakan
profesinya secara proposional. Dalam melaksanakan tugas jabatannya seorang
notaris harus berpegang teguh kepada kode etik jabatan notaris, karena tanpa
itu harkat dan martabat profesionalisme akan hilang sama sekali.[8]
d. Profesi dosen hukum
Kode etik fakultas hukum tidak jauh
berbeda dengan kode etik yang berlaku pada profesi hukum lainnya. Lebih
istimewanya lagi dosen fakultas hukum negeri merupakan jabatan fungsional yang
dalam melakukan tuganya selalu dituntut seprofesional mungkin, sebab dosen
fakultas hukum merupakan organisassi yang memberikan pelayanan kepada
mahasiswanya sebagai anak didik. Oleh karena itu, kalau seorang dosen dalam
menjalankan tugasnya tidak profesional maka akan mempunyai dampak kepada
mahasiswanya. Dalam artian bahwa seorang dosen dituntut untuk memberikan contoh
yang baik kepada mahasiswanya sehingga mahasiswa dapat memetik teladan dari
perilaku dosen yang bersangkutan. Hal ini perlu dilakukan agar kedepan anak
didiknya tidak berperilaku menyimpang dari hukum dan norma-norma yang berlaku
ditengah-tengah masyarakat. Sebab dosen merupakan sosok yang akaan menentukan
nasib bangsa kedepan, khususnya menyangkut penegakan hukum direpublik ini.
Seandainya seorang dosen berperilaku tidak terpuji, akan menjadi preseden
mahasiswanya, oleh karena itu tugas dosen selaku pendidik dan guru sangat
diharpkan oleh masyarakat. [9]
e. Profesi kejaksaan
Dalam penjelasan umum undang-undang nomor
16 tahun 2004 tentang kejaksaan dinyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara indonesia
adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsipn
penting negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum (equality
before the law). Oleh karena itu, setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepasstian hukum yang adil, serta perlakuan yang
sama dihadapan hukum.
Dalam usaha memperkuat prinsip diatas
maka salah satu subtansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indosesia tahun 1945 telah membawa perubahan yang mendasar dalam kehidupan
ketatanegaraan, khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan
perubahan tersebut, dipertegas oleh undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman yang menyatakan bahwa badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kahakiman, salah satunya adalah Kejaksaan Republik
Indonesia.
f. Profesi kepolisian
Dalam diktum penjelasan Undang-Undang
Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dinyatakan:
perkembangan kemajuan masyarakat yang cukup pesat, seiring dengan merebakanya
fenomena supremasi hukum, hak asasi manusia, globalisasi, demokratisasi,
desentralisasi, transparansi, dan akuntabilitas. Telah melahirkan berbagai
paradigma baru dalam melihat tujuan, tugas, fungsi, wewenang, dan tanggung
jawab Kepolisian Negara Republik Indonesia yang makin meningkat dan lebih
berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya.
Kepolisian merupakan salah satu pilar
pertanahan negara, yang khusus menangani ketertiban dan keamanan masyarakat.
Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
perubahan kedua, ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan TAP MPR No. VII/MPR/2000,
keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format tujuan kepolisian negara
republik indonesia dan secara konsisten dinyatakan dalam perincian tugas pokok,
yaitu memelihara keamanan dan ketertiban msyarakat, menegakkan hukum, serta
melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Namun dalam penyelanggaraan
fungsi kepolisian, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara fungsional
dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk
pengamanan swakarsa melalui pengembangan asas subsidaritas dan asas
partisipasi. [10]
5. Fungsi Kode Etik
Profesi Hukum
Pada umumnya, suatu profesi atau pekerjaan yang
terikat secara institusional dan
mengabdi pada layanan sosial, selain terikat dalam suatu landasan materil yang
jelas, seperti kaidah-kaidah hukum, juga secara khusus diatur dan diikuti oleh
rambu moral. Landasan yang bersifat moralistik (etik) ini diorientasikan untuk
menjadi pijakan yang lebih tepat terhadap seseorang yang sudah mendapatkan
kepercayaan masyarakat dan negara dalam melakukan tugas-tugas (pekerjaan)
penting. Landasan moral sering diketengahkan pada saat awal seseorang memasuki
suatu “Medan”kerja” (profesi) dengan harapan profesi atau kerjaan yang
dilakukannya, disamping dapat mencapai target yang ditentukan, dapat terhindar
dari kemungkinan terjadinya penodaan terhadap tujuan luhur suatu profesi.
Beberpa
fungsi kode etik adalah sebagai berikut:
a) Kode etik itu ditujukan sebagai acuan
control moral atau semacam pengawasan perilaku yang sanksinya lebih
dikonsentrasikan secara psikologis dan kelembagaan. Pelaku profesi yang
melanggar, selain menyalahi ketentuan perundang undangan yang berlaku (kalau
ada indikasi yang dapat menunjukkan jenis dan modus pelanggarannya), juga dapat
tanggung jawab secara moral berdasarkan kode etik profesinya. Oleh karena itu,
sehubungan denga nilai-nilai dan kepentingan yang terlibat didalamnya,
pengemban profesi dituntut untuk melaksanakan pelayanan profesional dengan dijiwai
sikap etis tertentu. Sikap etis itulah yang disebut etika.
b) Kode etik profesi menuntut terbentuknya
integritas moral yang kuat dikalangan pengemban profesi. Dengan integritas
moral yang kuat ini , diharapkan kompleksitas dan akumulasi tantangan dapat dijawab
tanpa perlu merusak citra kelembagaan
c) Martabat atau jati diri suatu organisasi
profesi akan ditentukan pula oleh kualitas pemberdayaan kode etik profesi
organisasi itu sendiri. Dengan kode etik profesi, bukan hanya klien yang bisa
diartikulaasikan hak-haknya, melainkan kepentingan negara secara umum juga
dapat dijaga.
d) Kode etik profesi itu menjadi acuan
supaya anggota profesi tetap bermartabat dalam profesinya. Dengan adanya kode
etik ini, suatu profesi yang dijalankan akan menghindari komunnitas dan
interaksi yang liar dan cenderung “menolelir” beragamm cara melanggar
norma-norma.
e) Kode etik mencegah pengawasan ataupun
campur tangan yang dilakukan oleh pemerintah atau oleh masyarakat melalui
beberapa agen atau pelaksanaannya. Jika sebuah tingkatan standadisasi
diinginkan, siapa yang harus menentukan peraturan tentang kelakuan baik
seseorang ? haruskah kini hukum bertindak dengan mencoba mengatur secara detail
perangai penyandang profesi terhadap klien atau sesama penyandang profesi ?
haruskah hukum mulai mengatur dan mengarahkan hubungan antara seorang pengacara
denga kliennya, guru dengan muridnya, atau antara seorang insinyur dengan
majikannya serta dengan masyarakat umum? Didalam masyarakat, konflik antara
pengaturan oleh hukum dengan keinginan para anggota profesi dapat terjadi
sewaktu-waktu. Dalam kasus semacam ini ada yang berpendapat bahwa hukum
cenderung menjadi negative, sementara etikka mengarahkan prnyandang profesi
pada cita-cita yang telah digariskan bersama. Hukum adalah sarana kontrol sosial
yang paling jelas kelihatan,, maka harus dipergunakan hanya pada saat cara-cara
lain untuk melindungi hak-hak individu dan masyarakat tidak jalan. Ada ruang
lingkup tertentu bagi perilaku manusia dimana hukum tidak tepat bila digunakan
sebagai insrtumen kontrol sosial, dimana prinsip-prinsip moralitas sehari-hari
tampak tidak berfungsi. Meskipun demikian, sebagai gantinya ada juga beberapa
patokan dan kesepakatan penting dalam kehidupan manusia. Para penyandan profesi
telah memilih untuk menyelenggarakan dan menetapkan patokan-patokan tertentu
bagi kelompoknya sendiri. Sementara itu, kode-kode (kode etik) diperlukan untuk
melindungi kelompoknya sendiri, maupun masyarakat pada umumnya.
Beberapa
persoalan yang muncul kemudian adalah kode etik sekitar hubungan antara
penyandang profesi dengan pasien, klien, murid, pimpinan dan sebagainya, serta
kewajiban para anggota profesi terhadap masyarakat pada umumnya. [11]
6. Pentingnya kode etik
profesi hukum
Dalam drama cade’s rebellion, shakespeare
mengatakan, “let’s kill all the lawyers”, bunuhlah semua pengacara
(profesional hukum), kalau ingin mengubah negara demokratis menjadi negara
totaliter (absolute), atau jika kita ingin negara ini penuh korupsi, bobrok
rusak dan hancur karena main kuasa dan main hakim sendiri.[12] Pernyataan ini menunjukkan hakikat para
penegak hukum (hakim, jaksa, pengacara, notaris, dan polisi) adalah pembela
kebenaran dan keadilan. Para pemangku profesi hukum bertugas memberi kepastian
hukum kepada pencari kebenaran dan keadilan. Mereka memberi bantuan hukum
secara profesional kepada klien berdasarkan hukum, keadilan, dan kebenaran.
Mereka menjalankan profesinya dengan iktikad baik dan ikhlas. Oleh karena itu,
profesi hukum merupakan profesi terhormat dan luhur. Karena mulia dan terhormat,
profesional hukum seharusnya menjadikan profesi ini sebagai pilihan dan
sekaligus panggilan hidupnya untuk melayani masyarakat dibidang hukum.
Hal ini akan mendorong dirinya untuk
bekerja dengan penih tanggung jawab dengan mengutamakan kualitas hasil pekerjaannya
berdasarkan kebenaran dan keadilan bagi pencari keadilan dan kepastian hukum.
Ia bekerja tanpa pamrih dengan mendahulukan kepentingan pencari kliennya
daripada kepentingan dirinya. Sikap seperti ini akan menghalangi dirinya
menjadi calo atau broker hukum yanng membisniskan profesinya.
Profesional hukum yang mencintai sebagai tugas mulia akan menjunjung tinggi
etika profesi. Ia merasa yakin bahwa mellalui profesi hukum, ia bersedia
mengabdi pada sesama sebagai idealismenya.
Kode etik penting bagi profesi hukum
karena profesi hukum merupakan suatu moral community (masyarakat moral)
yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama.[13]serta
memiliki izin untuk menjalankan profesi hukum. Untuk itu, kode etik perlu
diumumkan dan disebarluaskan agar masyarakat pun mengetahui dan memahaminya.
Masyarakat pun diminta untuk berpartisipasi dalam mengawasi para profesional
hukum. Mereka tentu saja diharapkan untuk melapor dan apabila perlu menuntut
manakala profesional hukum ketahuan melanggar kode etik profesinya.
Profesi luhur dan terhormat ini sudah
lama dicemari oleh perilaku profesi hukum sendiri. Selama ini, profesional
hukum lebih memihak pada kekuasaan dan konglomerat daripada rasa keadilan
masyarakat. Aroma korupsi, kolusi, dan nepotisme sangat kental pada
penyelenggaraan peradilan. Akibatnya, profesi hukum dituduh sebagai salah satu white
colour crime (penjahat berdasi) atau educated criminals (penjahat
terpelajar). Penyalahgunaan ini dapat terjadi karena aspek persaingan dalam
mencapai popularitas diri dan finansial atau karena tidak adanya disiplin dir.
Kaum profesional ini berkompetisi dengan menginjak-injak asas solidaritas
dengan teman seprofesi dan asas solidaritas pada klien yang kurang mampu.[14]
Kecenderungan ini terjadi karena pelaku profesi hukum membisniskan profesinya.[15]
Dengan adanya kode etik, kepercayaan
masyarakat akan diperkuat karena setiap klien merasa ada kepastian bahwa kepentingannya
terjamin. Profesional hukum memberikan pengayoman dan rasa keadilan. Akibatnya,
selain masyarakat mengetahui adanya hukum dan dapat memanfaatkan hukum,
merekapun merasa hukum adalah miliknya karena mereka merasa diayomi oleh hukum.
Hukumpun mendapat pengakuan dan legitimasi dari masyarakat. Dengan demikian,
kesadaran hukum dan kepatuhan pada hukum akan eksis dalam masyarakat. Kode etik
hukum ini harus selalu direfleksi kembali sehingga sewaktu-waktu bisa dinilai
dan jika perlu direvisi atau disesuaikan dengan kondisi yang sedang
berlangsung. Untuk itu, pelaksanaan kode etik ini harus diawasi terus menerus
dan berada dibawah kontrol sosial dari dewan kehormatan atau komisi pengawasan.
Dewan kehormatan harus menilai dan menindak dengan tegas berupa pemberian
sanksi kepada pelanggar kode etik. Dewan kehormatan menyelenggarakan rapat
tahunan untuk mengevaluasi pelaksanaan kode etik.
Kode
etik profesi hukum memuat kewajiban dan keharusan untuk menjalankan profesi nya
secara bertanggung jawab atas hasil dan dampak dari perbuatannya dan keharusan
untuk tidak melanggar hak-hak orang lain.
Kode etik ini bukanlah hukum, melainkan nilai dan norma sebagai tolak
ukur bagi profesional hukum dalam menegakkan kewibawaan hukum yang
berperikemanusiaan dan berkeadilan. Pada gilirannya, kode etik akan membentuk
etos kerja pada setiap anggota profesi hukum agar menjadi profesional hukum
yang berprofesi luhur, yang menjalankan profesinya sebagai perwujudan komitmen
tanggung jawab keilmuan, dan integritas moral individu pada pengabdian sesama,
dengan mencintai dan menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan diatas uang dan
jabatan.
Melalui kode etik ini, para profesional
hukum diharapkan memiliki beberapa kualitas diri yang menjadi acuan penilaian
dan sikap moralnya dalam melaksanakan profesinya. Kualitas moral tersebut
adalah kejujuran kepada hati nuraninya sendiri, tuhan, dan klien. Kejujuran
adalah dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral. Orang dapat
membedakan mana hak nya mana hak orang lain. Sikap jujur pertama berarti sikap
terbuka, yang tercermin dalam pelayanannya kepada klien yang tidak mampu (dalam
hal finansial), sikap jujur kedua adalah sikap fair atau wajar, dengan melihat
klien sebagai sesama manusia sehingga terhindar dari tindakan yang otoriter,
kasar, dan sewenang-wenang. Klien harus dipandang sebagai subjek yang perlu
dihormati dan dihargai secara wajar, apa ada nya.
7. STUDI KASUS
1. Pelaksanaan Ujian Nasional
(UN) 2009
"Kasus-kasus yang ditemukan pada
pelaksanaan UN 2009 mulai dari kategori ringan terkait pencetakan dan
distribusi soal hingga dugaan kebocoran soal UN," kata Inspektur IV Itjen
Depdiknas Amin Priyatna kepada pers di Jakarta, Senin (4/5). Terkait masalah
distribusi dan pencetakan soal, Amin yang dalam keterangannya didampingi Ketua
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Prof Mungin Eddy Wibowo mengatakan,
tim Itjen menerima laporan dari berbagai daerah antara lain kesalahan
nomor pada soal, nomor soal tercetak dua kali, soal tertukar yakni soal A
masuk ke amplop soal B, kualitas kertas yang mudah rusak.
Beberapa kasus terkait pencetakan dan
kendala dalam distribusi soal antara lain di Bangka Tengah, Magelang,
Purbalingga, Mamuju Sulbar, Majene Sulsel, dan Kabupaten Padang Panjang.
Terkait dugaan kebocoran soal UN, Amin
mengatakan, upaya membocorkan soal terjadi sehari menjelang pelaksanaan UN
terjadi di Bengkulu Selatan yang melibatkan 16 orang, yakni 10 kepala sekolah
SMA Negeri, empat kepala sekolah swasta, satu kepala sekolah Madrasah Aliyah
Negeri dan seorang kabid Dikmenum Diknas setempat.
"Kasusnya sedang diproses pihak
kepolisian karena upaya tindak kecurangan dengan cara menyembunyikan soal
cadangan saat penyerahan kepada pihak kepolisian," katanya.
Kecurangan tersebut segera diketahui polisi
yang langsung menangkap basah saat terjadi pembagian berkas di antara ke-16
orang tersebut sehingga jawaban soal tidak sempat dibocorkan kepada peserta
didik, katanya.
Itjen juga menerima laporan dari SMPN I
Bengkulu tentang adanya guru yang membocorkan soal dan jual beli soal di SMP di
Kendari, dugaan kebocoran jawaban soal di SMP Negeri di Bandung, guru di Banten
yang membacakan jawaban soal ujian kepada siswa di dalam kelas.
Sementara itu, Ketua BSNP Prof Mungin Eddy
Wibowo menambahkan, panitia UN dan tim pemantau BSNP juga memperoleh laporan
adanya pungutan uang UN di sekolah swasta di Bandung barat yang seharusnya
gratis. "Di sejumlah daerah yang dilanda banjir juga diperoleh laporan
soal UN yang rusak, siswa terlambat mengikuti UN karena banjir," katanya.
Terkait dengan penemuan kasus pada UN tahun
2008, Amin Priyatna mengatakan, Itjen telah memberikan rekomendasi kepada
kepala daerah tentang temuan dan tindakan yang perlu dilakukan terhadap oknum
guru, kepala sekolah dan pejabat dinas pendidikan yang terbukti melakukan
kecurangan. "Hasil temuan kami laporkan kepada Mendiknas
dan disampaikan kepada kepala daerah di masing-masing propinsi dan kabupaten.
Tahun 2008 ada lima propinsi, antara lain Medan Sumut, Bandung Jabar,
Garut Jabar, dan Sulawesi Tenggara," ungkapnya.
PEMBAHASAN :Apa yang menarik tentang kebijakan UN ?
yang menarik adalah karena pelaksanaan UN selalu tidak pernah lepas dari penyimpangan
(kebocoran soal-soal UN dll), meskipun fakta penyimpangan sekali lagi bukan
menjadi sesuatu yang baru dan menjadi sebuah hal yang wajar dibanyak kebijakan,
namun menjadi menarik dan tidak wajar ketika pelaku penyimpangan telah
melibatkan oknum-oknum seperti kepala dinas hingga guru, bukankah ini sebuah
realitas yang paradoks ditengah memuncaknya semangat pemuliaan guru melalui
undang-undang guru dan dosen (UUGD)?
Dalam konteks UN, Sepintas guru memang perlu dipertanyakan moralitasnya, namun tidaklah fair jika semuanya itu dilimpahkan kepada guru sebab semua itu tidaklah berdiri sendiri-sendiri. Menurut Ade Irawan kepala korupsi pendidikan ICW “mentengarai, guru yang melakukan curang itu, karena ada tekanan dari atas, yakni kepala sekolah, lalu kepala sekolah ditekan oleh kepala dinas, dan kepala dinas ditekan oleh kepala daerah,"
Jadi “sempurnya” aturan sempurna pula penyimpangannya, begitulah kira-kira kata yang pantas untuk menggambarkan sisi lain pelaksanaan UN sebab meskipun setiap tahunnya pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah berupaya meminimalisir segala bentuk penyimpangan UN, ternyata tidak menghentikan oknum-oknum terorganisir untuk sengaja berbuat menyimpang dalam pelaksanaan UN.
Realitas ini apakah bisa dijadikan sebagai kesimpulan sementara tentang “ketidakjujuran” para pelaku pendidikan kita? Jika pemahaman tentang kejujuran itu merupakan sebuah sikap apa adanya? Maka perilaku menyimpang dengan sengaja melakukan pembocoran soal secara sistematis merupakan salah satu bentuk kejujuran para pendidik kita, sebuah sikap kejujuran tentang ketimpangan pendidikan yang dirasakannya, kejujuran yang tidak pernah maksimal didengar oleh pengambil kebijakan, dan pengabaian hak-hak evaluasi guru sebagaimana yang digariskan dalam Undang-undang sisdiknas pada akhirnya memaksa para pendidik kita untuk memodifikasi konsep kejujurannya dengan apa yang populer kita sebut “menyimpang dalam UN” Dapatkah pemerintah bersikap lebih bijak dengan tidak memaknai hanya apsek formilnya saja?
Dalam konteks UN, Sepintas guru memang perlu dipertanyakan moralitasnya, namun tidaklah fair jika semuanya itu dilimpahkan kepada guru sebab semua itu tidaklah berdiri sendiri-sendiri. Menurut Ade Irawan kepala korupsi pendidikan ICW “mentengarai, guru yang melakukan curang itu, karena ada tekanan dari atas, yakni kepala sekolah, lalu kepala sekolah ditekan oleh kepala dinas, dan kepala dinas ditekan oleh kepala daerah,"
Jadi “sempurnya” aturan sempurna pula penyimpangannya, begitulah kira-kira kata yang pantas untuk menggambarkan sisi lain pelaksanaan UN sebab meskipun setiap tahunnya pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah berupaya meminimalisir segala bentuk penyimpangan UN, ternyata tidak menghentikan oknum-oknum terorganisir untuk sengaja berbuat menyimpang dalam pelaksanaan UN.
Realitas ini apakah bisa dijadikan sebagai kesimpulan sementara tentang “ketidakjujuran” para pelaku pendidikan kita? Jika pemahaman tentang kejujuran itu merupakan sebuah sikap apa adanya? Maka perilaku menyimpang dengan sengaja melakukan pembocoran soal secara sistematis merupakan salah satu bentuk kejujuran para pendidik kita, sebuah sikap kejujuran tentang ketimpangan pendidikan yang dirasakannya, kejujuran yang tidak pernah maksimal didengar oleh pengambil kebijakan, dan pengabaian hak-hak evaluasi guru sebagaimana yang digariskan dalam Undang-undang sisdiknas pada akhirnya memaksa para pendidik kita untuk memodifikasi konsep kejujurannya dengan apa yang populer kita sebut “menyimpang dalam UN” Dapatkah pemerintah bersikap lebih bijak dengan tidak memaknai hanya apsek formilnya saja?
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Kode etik bisa dilihat sebagai produk dari etika terapan, sebab dihasilkan
berkat penerapan pemikiran etis atas suatu wilayah tertentu, yaitu profesi.
Tetapi setelah kode etik ada, pemikiran etis tidak berhenti. Kode etik tidak
menggantikan pemikiran etis, tapi sebaliknya selalu didampingi refleksi etis.
Supaya kode etik dapat berfungsi dengan semestinya, salah satu syarat
mutlak adalah bahwa kode etik itu dibuat oleh profesi sendiri. Kode etik tidak
akan efektif kalau di drop begitu saja dari atas yaitu instansi pemerintah atau
instansi-instansi lain; karena tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan
nilai-nilai yang hidup dalam kalangan profesi itu sendiri. Instansi dari luar
bisa menganjurkan membuat kode etik dan barang kali dapat juga membantu dalam
merumuskan, tetapi pembuatan kode etik itu sendiri harus dilakukan oleh profesi
yang bersangkutan. Supaya dapat berfungsi dengan baik, kode etik itu sendiri
harus menjadi hasil SELF REGULATION (pengaturan diri) dari profesi.
Dengan membuat kode etik, tanggung jawab profesi sendiri akan menetapkan
hitam atas putih niatnya untuk mewujudkan nilai nilai moral yang dianggapnya
hakiki. Hal ini tidak akan pernah bisa dipaksakan dari luar. Hanya kode etik
yang berisikan nilainilai dan cita-cita yang diterima oleh profesi itu sendiri
yang bisa mendarah daging dengannya dan menjadi tumpuan harapan untuk
dilaksanakan untuk dilaksanakan juga dengan tekun dan konsekuen. Syarat lain
yang harus dipenuhi agar kode etik dapat berhasil dengan baik adalah bahwa
pelaksanaannya di awasi terus menerus.
Kesadaran itu penting
dan lebih penting lagi kesadaran itu timbul dari Diri kita masing - masing yang
sebentar lagi akan menjadi pelaksana profesi di bidang komputer disetiap tempat
kita bekerja, dan selalu memahami dengan baik atas Etika Profesi yang membangun
dan bukan untuk merugikan orang lain.
2.
Saran
Agar tidak menyimpang dari kode etik yang berdampak pada profesionalitas
kerja maka :
1. Memperbanyak pemahaman terhadap kode etik dan
tanggung jawab profesi
2. Mengaplikasikan keahlian sebagai tambahan ilmu
dalam praktek pendidikan yang di jalani.
3. Pembahasan makalah ini menjadikan individu yang
tahu akan pentingnya kode etik dan tanggung jawab profesi.
4. Kode etik yang diterapkan hendaknya disesuaikan
dengan keadaan yang memungkinkan untuk dapat dijalankan bagi kelompok profesi.
5. Terhadap pelaksanaan profesi hendaknya
menjalankan profesi yang jalani sesuai dengan kode etik yang ditetapkan agar
profesi yang dijalani sesuai dengan tuntutannya.
DAFTAR PUSTAKA
Supriadi. Etika & tanggung jawab profesi hukum. (Jakarta:
sinar grafika, 2006)
Suhrawardi. Etika profesi hukum. (Jakarta: sinar grafika,
1994)
Muhammad Nuh. Etika profesi hukum. (Bandung: pustaka setia, 2011)
Rasjidi ira thania dan rasjidi lili. Pengantar filsafat hukum.
(Bandung: mandar maju, 2012)
Habeyb. 1995. Etika
profesi notaris dalam penegakan hukum pidana, Bigraf Publishing,
Yogyakarta.
E.Sumaryono. Etika profesi hukum,(yogyakarta: kanisius,
1995)
A. Gunawan Setiadja. Dialektika hukum dan moral.
(yogyakarta: kanius, 1990)
[1] Kamus
besar bahasa indonesia, op. Cit. , hlm 789.
[2] Habeyb,
kamus populer, dalam Liliana Tedjosaputro, etika profesi notaris dalam
penegakan hukum pidana, Bigraf Publishing, Yogyakarta, 1995, hlm. 32
[3]
Komaruddin, ensiklopedia manajemen, dalam liliana tedjosaputri, ibid.
[4] Disadur
dari etika dan kode etik profesi hukum oleh B. Arief Sidharta, 1991
[5] Rasjidi ira
thania dan rasjidi lili, pengantar filsafat hukum, (bandung: mandar maju, 2012)
hlm. 91-92
[6] A.
Gunawan Setiadja, dialektika hukum dan moral, (yogyakarta: kanius, 1990)
hlm: 91
[7]
Supriadi, etika dan tanggung jawab profesi hukum diindonesia, (jakarta:
sinar grafika, 2006), hlm. 19.
[8]
Suhrawardi k. Lubis.etika profesi hukum, (jakarta: sinar grafika, 1994),
hlm. 33
[9]
Supriadi. Etika dan tanggung jawab profesi hukum didindonesia, (jakarta:
sinar grafika), hlm 147
[10]
Supriadi. Etika dan tanggung jawab profesi ukum diindonesia, (jakarta:
sinar grafika), hlm. 127.
[11] E.
Sumaryono, etika profesi hukum, yogyakarta: kanisius, hlm 34-35
[12] Lihat
di E.Y. Kanter, S.H., Etika Profesi Hukum, sebuah pendekatan Sosio-Religius,
Jakarta: storia grafika, 2001, hlm 110.
[13] Paul F.
Camenisch, grounding Proffesional Ethics in a Pluralistic socierl, new york:
haven publication, 1983, hlm.48
[14] Kanter,
ibid., hlm 111.
[15] J.E.
Sahetapy, kejahatan korporasi, Bandung: Eresco, hlm. 10-27
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
BalasHapusBERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....